HMI Yang Tertimbun Sejarah
Lapmi Bandung, Opini - Himpunan Mahasiswa Islam sudah semakin renta sejak
kelahirannya pada 5 Februari 1947 silam.Organisasi ini bukan komunitas maupun
organisasi abal-abal yang surut dari pergulatan antar kelompok kemahasiswaan
baik pemikiran, gerakan dan pembaharuan. Trend dan klaim keislaman dan
keindonesiaan yang modern menghantarkan HMI sampai di titik kulminasinya dari
sederet organisasi mahasiswa eksternal yang tersisa.
Mungkin hasil yang dipetik adalah pembibitan, pemupukan
oleh kader-kader militan di masa lalu. Dirasa memang dedikasi mereka berikan
dengan penuh ketulusan serta komitmen terhadap cita-cita luhur sedari HMI mulai
meniti kiprahnya hingga terlibat aktif dalam pergerakan
keislaman-kemahasiswaan-keindonesiaan Republik Indonesia. Itu menegaskan bahwa
HMI adalah anak sah dari Republik ini dan diperuntukkan bagi umat !
Orientasi
yang mendasar bagi HMI adalah menghasilkan Muslim Intelektual dan Intelektual
Muslim (Sitompul Eds., 2008:485), tidak heran HMI memiliki segudang intelektual
muda yang siap men-supply gagasan dari berbagai bidang yang
realistis bagi internal maupun eksternal. Derap langkah HMI selalu mencuri
perhatian publik, bukan hanya hanya mahasiswa dan perguruan tinggi saja,
melainkan juga segenap potensi umat Islam dan rakyat Indonesia. Hal ini
menandaskan bahwa HMI tidak pernah berjuang sendiri !
Rahim HMI
di masa lalu sanggup menghasilkan tokoh-tokoh sekaliber M. Dahlan Ranuwihardjo,
M. Dawam Rahardjo dan Ridwan Saidi. Kendati di antaranya bukan berasal dari
Perguruan Tinggi Islam (PTI) tetapi mampu berbicara mengenai Islam dan berbagai
disiplin ilmu yang berkaitan dengannya. Tak jarang juga tulisan dari pemikiran
mereka dimuat dalam jurnal Ulumul Qur’an (Sitompul
Eds., 2008:622).
Imaduddin (ITB), Amien Rais (UGM), Syafii Ma’arif (UNY),
Abdullah Hehamahua, Nurcholish Madjid (UIN Ciputat) atau sering disebut
Cak Nur sebagai Bapak Lokomotif Pembaharuan Indonesia yang memberi sumbangsih
cukup besar terhadap ideologi (Nilai-nilai Dasar Perjuangan) HMI bersama Endang
Syaefuddin Ansari (Unpad) dan Sakib Mahmud (ITB) yang masih layak guna hingga
sekarang, maupun napak tilas gagasan segar seputar keislaman dan keindonesiaan
lainnya bagi Republik ini.
Bisa dilihat pula riwayat keberanian dari Munir Said
Thalib (Univ. Brawijaya) atau Cak Munir yang meneriakkan kegelisahan kaum
mustadh’afin, serta perlawanannya menentang kedzaliman melalui sisi-sisi
hak kemanusiaan. Beberapa nama ini sangat santer dibeberapa kalangan aktivis
seantero Nusantara.
Beberapa tokoh yang cukup berimbang antara keilmuan dan
gerakan, itu hanyalah sederet nama dari banyaknya produk masa lalu yang tidak
mungkin diulas satu persatu. Yang terpenting adalah hal itu menjadi alarm bagi
kita selaku kader HMI di era kekinian. Kalau pada masanya, mereka menjadi mesiu
keilmuan dan gerakan, bagaimana masa kini ? Tentu jawabannya variatif, tapi
sadar atau tidak sejarah telah merekam semua yang terjadi.
Decak
kagum saya selalu berseling tanda tanya, “apa yang ada di generasi
terdahulu sehingga mampu membesarkan HMI”?. Pikiran sempit saya ketus berseloroh,
“boro-boro membesarkan HMI, justru kita kadang-kadang menjadi
sampah HMI dan Republik ini”.
Mungkin salah satunya, ini berdasarkan perkiraan saya,
generasi terdahulu masih berpegang teguh terhadap independensi yang ada di HMI.
Dengannya mereka menjadikan HMI adalah organisasi mahasiswa Islam yang
heterogen tanpa diklaim organisasi dibawah partai, kelompok tertentu, sehingga
HMI memiliki daya tawar yang mahal dan diacungi jempol. Sebenarnya memang HMI
tidak pernah mengajarkan bahwa independensi yang ada di HMI adalah sebuah
jargon semata, ia merupakan kepribadian dalam berjuang.
HMI tidak ingin mengapus catatan sejarah yang ada
padanya, maka HMI dituntut untuk terus menanamkan benih agar tetap menumbuhkan
tunas muda HMI dengan menjalankan ritme perkaderan sebagai kunci
keberlangsungan organisasi mulai dari training formal hingga non-formal, dari
tingkatan Pengurus Besar sampai pada Komisariat tingkatan kampus sebagai
pembasisan ideologi. Terlebih dalam soal perkaderan, HMI bisa dibilang
cukup matang, dibanding organisasi kemahasiswaan lain yang mati di tengah
perjalanan saat menjemput pucuk kemapanannya. Hal ini adalah pertanda bahwa HMI
lulus dari ujian sejarah.
Sistem yang terus berjalan dari dulu hingga kini,
menghasilkan volume anggota HMI yang terus bertambah dan merambah ke seluruh
pelosok tanah air dari Sabang hingga Merauke. Kondisi itu terkadang tidak
dibarengi dengan kualitas yang mumpuni. Ini adalah salah satu hal yang membuat
HMI di masa kini jarang menjawab problematika zaman.
Rasa-rasanya
HMI tidak lagi seheroik dulu, bermula dari gerakan yang reaksioner berdasarkan
“orderan politik abang-abang atau gara-gara sekedar urusan uang
jajan”. Apalagi fenomena baru-baru ini, HMI terlibat di Pilkada
Jakarta mulai dari yang “oke oce” sampai yang mengatasnamakan “bela Islam hingga bela
kebhinekaan”.
Mungkin,
itu sedikit menggambarkan HMI tidak “pede” dengan
independensi yang dimiliki atau karena politik etis abang-abang ala kolonial.
Tapi sejak kapan HMI kontra-produktif terhadap kemerdekaan individu dan
institusi ? Optimisme untuk nasib HMI ada di tubuhnya sendiri!.
Tidak berhenti sampai disitu, kemerosotan intelektual
menjadikan HMI rapuh dan gagap untuk menjawab problematika yang datang. Mulai
dari miskin solusi dan gagasan realistis, hingga bahkan tidak mengetahui apa
yang menjadi akar persoalan. Justru kepribadian HMI dibentuk karena corong
intelektual. Kalau ia sudah memudar, kemana HMI harus bersandar?
Di sisi lain, soal keislaman di HMI juga semakin redup,
tak jarang terhenti di seputar pengetahuan. Tidak berdaya untuk membuat iklim
spritual yang sehat. Padahal bukankah spiritual tak sekedar pengetahuan belaka?
Ia bermakna membenarkan dengan hati, mengakui dengan lisan dan mengamalkan
dengan perbuatan.Imam Syafi’i R.H. juga menandaskan bahwa ini adalah ijma’
ulama (kesepakatan kolektif) (Shalih, 2012:147).
Harusnya HMI sadar bahwa manusia merupakan makhluk dwi
dimensi yang terdiri fisik dan metafisik yaitu jasad, akal dan roh. Kesemuanya
perlu diasah dan diasuh, semua perlu mendapat porsi pengembangan yang memadai “Three in One” (Shihab, 2005:155). HMI memang ingin
membangun peradaban, tapi peradaban tidak akan terbangun jika hanya sekedar
ilmu pengetahuan yang tidak disandarkan kepada spritual.
Tantangan
dari setiap generasi mungkin berbeda, dan tulisan ini bukan untuk menyeragamkan
persoalan dan keadaaan. Namun, dikarenakan melihat pada narasi historis masa
lalu HMI yang mengagumkan. Hal bukan berarti mengesampingkan masa depan.
Penulis juga tidak ingin selalu berada pada kondisi itu, karena kita harus
beranjak ke masa yang lain. Toh, tanpa membahas aspek historis pun HMI akan selalu
berjalan melewati peralihan waktu.
Tapi ada
memo yang sangat penting, bahwa pada rentetan masa lalulah yang mengantarkan
keberadaan HMI di masa kini. HMI kini sepertinya lupa terhadap kedigdayaan HMI
di masa silam. Kegagalan HMI masa kini dalam menerjemahkan historis besar masa
lalu merupakan lampu kuning yang patut diwaspadai. Mungkin sesekali kita tengok
yang lalu untuk mengambil sikap tegas di masa depan untuk kebaikan dan kemajuan
himpunan agar tidak kehilangan identitas. Setiap kemungkinan selalu ada harapan
bagi kebangkitan HMI karena kebangkitan bukanlah sebuah mitos! (*)
Penulis :
Muhammad Khairul Afif
Ketua Umum HMI Komisariat ISIP Unpas
Penulis :
Muhammad Khairul Afif
Ketua Umum HMI Komisariat ISIP Unpas
HMI Yang Tertimbun Sejarah
Reviewed by Unknown
on
4/14/2017
Rating:
Tidak ada komentar