Alumni HMI Masuk Nominasi Peraih Hadiah Nobel Kesehatan, Siapakah Dia?
Lapmi Bandung, sosok-Taruna
Ikrar menjadi orang Indonesia pertama yang dinominasi menerima penghargaan
Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran. Ia adalah asisten spesialis
laboratorium Xu Departemen Anatomi dan Neurobiologi University of California.
Langkah yang semakin mendekatkan kepada penghargaan keilmuan bergengsi
tersebut.
Tak
berhenti belajar. Kalimat itulah yang pas untuk menggambarkan sosok Taruna
Ikrar, Mantan Ketua PB HMI sekaligus Dokter Indonesia yang mengajar di
University of California. Pria kelahiran Makassar yang telah bergelar Profesor
ini dikenal sebagai ahli di bidang farmasi, jantung dan saraf. Ia juga telah
melakukan 54 penemuan penting. Dua di antaranya bahkan sudah dipatenkan dan
dipakai oleh pelbagai institusi pendidikan dan kedokteran dunia.
Kabar
terbaru memberitakan, bahwa Mantan Ketua Umum HMI Cabang Makassar dan periset
lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin ini menjadi nomine peraih
Hadiah Nobel 2016 dalam bidang kedokteran. Universitas tempat ia mendedikasikan
ilmunya yang mengajukannya dalam bidang optogenetik, fisiologi pengobatan.
Nomine peraih Hadiah Nobel dari Indonesia sampai saat ini hanya dua, yakni
Pramoedya Ananta Toer dan Taruna Ikrar.
Pramoedya
berkali-kali menjadi nomine,namun gagal memenangi Hadiah Nobel.. Ia pun sudah
meninggal pada 2006, dan tidak ada dalam sejarahnya Hadiah Nobel diberikan
kepada mereka yang sudah almarhum. Kini harapan Indonesia hanya bertumpu pada
Taruna Ikrar yang terus mengembangkan riset di Amerika.
Berdasarkan
penjelasannya kepada Gatra, Sabtu 12 Desember 2016, melalui pesan elektronik,
optogenetik adalah metode atau teknik yang menggunakan cahaya genetic untuk
mengontrol sel-sel neuron dalam makhluk hidup.
“Sel-sel
neuron tersebut telah dimodifikasi secara genetic untuk mengekspresikan ion
tertentu dan sensitive terhadap cahaya tertentu”,ujarnya memaparkan.
Selanjutnya,
kata Taruna, jenis cahaya tertentu tersebut merupakan cahaya laser dengan
panjang gelombang tertentu. Saat cahaya laser tersebut disinarkan terhadap
neuron atau sel-sel saraf yang telah termodifikasi, maka cahaya tersebut bisa
memberikan rangsangan tertentu terhadap sel saraf tersebut. Sehingga sel saraf
tersebut akan memberikan reaksi.
Kemudian,
reaksi yang dimaksud lulusan master Farmakologi Universitas Indonesia itu ada
dua macam. Pertama, bisa menstimulasi atau memacu rangsangan. Sedangkan yang
kedua merupakan kebalikannya, bisa memberikan hambatan atau menghambat reaksi
atau menghambat rangsangan.
“Tergantung
sel saraf yang mana yang dimodifikasi secara genetik”,ujar pria yang menyelesaikan
program doktoralnya di Jepang.
Taruna mengemukakan bahwa optogenetik akan sangat besar
fungsinya dalam dunia kedokteran di masa depan.Khususnya dalam ilmu Neurologi,
atau pengobatan berbagai penyakit fungsi saraf atau brain disorder. Hal
ini karena pada dasarnya berbagai kelainan neurologi diakibatkan oleh gangguan
keseimbangan sistem saraf dalam beradaptasi. Neurosains menyebutnya
neuroplastisitas dan neurokompensasi.
Optogenetik ini bisa mengontrol sistem saraf dengan jalan
mengaktifkan (turn on) atau menonaktifkan (turn off) gangguan fungsi otak.
“Sehingga di masa depan, optogenetik pengontrol sistem saraf bisa digunakan
dalam berbagai gangguan otak (brain disorder), seperti chronic anxiety and stress disorder,
Parkinson, skizofrenia, epiliepsi, Alzheimer, celebral palsy, dan sebagainya”,
begitu assistant specialist di Laboratorium Xu (yang dikepalai Dr.Xu) di
Departement Anatomi dan Neurobiologi di Universitas California ini menjelaskan.
Ia mengaku tertarik meneliti optogenetic laser stimulation karena metode ini merupakan metode
terbaru dan canggih. Selain itu, penelitian optogenetik merupakan ilmu yang
sangat dasar untuk menelusuri ilmu neurosains yang begitu luas, khususnya yang
berhubungan dengan pemetaan otak modern.
Sejak delapan tahun lalu, ia meneliti dan mengembangkan metode optogenetic laser stimulation . Mengingat ini merupakan metode baru,
menurutnya, masih banyak yang menjadi misteri. Alat, bahan dan sebagainya harus
diobservasi sendiri. Selanjutnya dimanfaatkan dalam penelitian.
“Tentu
ini juga merupakan peluang yang luar biasa luasnya”,ujarnya lagi.
Kerja
kerasnya pun berbuah hasil sehingga ia dinominasi meraih Hadiah Nobel Kesehatan
2016.
“Perasaan
kami sangat bahagia, gembira, bangga dan tentu saja mensyukuri sebagai suatu
karunia dari Allah SWT”,ujarnya gembira.
Sampai saat ini, Taruna merupakan orang Indonesia pertama yang
menjadi nomine Nobel berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Fakta menunjukkan
di bidang sains dan teknologi, Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan
negara lain. Meski negeri ini sudah 71 tahun, berdasarkan laporan http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ situs pemeringkatan publikasi ilmiah
bidang kesehatan pada tahun 2016, Amerika Serikat memperoleh jumlah penelitian
sebanyak 3.669.544 buah, sedangkan jumlah penelitian kesehatan Indonesia hanya
14.349. Ini merupakan peringkat sangat rendah. Indonesia masih kalah jauh
dibandingkan dengan negara sesame ASEAN seperti Singapura yang jumlah
penelitian kesehatannya sebanyak 71.746, Malaysia 39.855 dan Thailand dengan
jumlah publikasi 57.572.
“Sehingga,
saya berpikir para peneliti kita harus independen atau mandiri untuk
mengembangkan pengetahuan”,ujarnya lagi.
Ia
berharap anggaran penelitian perlu ditingkatkan sehingga para peneliti memiliki
kemerdekaan untuk berekspresi. Taruna berkeyakinan, suatu ketika ilmuwan
Indonesia bisa memenangkan Hdiah Nobel. Indonesia merupakan negara dan bangsa
yang besar, memiliki semua potensi dan sumber daya yang dibutuhkan untuk
memenangkan penghargaan tersebut.
Sejarah
mencatat, Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran pernah diperoleh peneliti
Geneeskundig Laboratorium (sekarang Lembaga Biologi Molekuler Eijkman), di
Batavia (Jakarta). Christian Eijkman memperoleh Nobel Kedokteran karena
penelitiannya memerangi penyakit beri-beri. Ia menemukan penyebab beri-beri
yaitu kekurangan bahan penting dalam makanan pokok orang Hindia Belanda
(Indonesia).
Bahan
kaya nutrisi itu terdapat di pericarpium-kulit ari beras. Penemuan ini
mengarahkan ilmuan pada konsep vitamin. Ternyata kulit ari beras mengandung
vitamin B. Temuan itu membuatnya memenangkan Hadiah Nobel Kedokteran pada 1929
bersama Sir Frederick Gowland Hopkins, ilmuwan peletak dasar ilmu biokimia dari
Inggris Raya.
Kini
upaya mengulang sejarah gemilang Eijkman sudah tampak di depan mata. Dan
harapan itu terletak di pundak Taruna Ikrar, putra Asli Indonesia.
(Sumber : Independesi.id
dan Majalah Gatra Ikon Kesehatan 2016)
Alumni HMI Masuk Nominasi Peraih Hadiah Nobel Kesehatan, Siapakah Dia?
Reviewed by Unknown
on
3/20/2017
Rating:
Tidak ada komentar